Hujan masih mengguyur dengan amat derasnya, air seolah-olah ditumpahkan dari lautan…tak ada habisnya…petirpun berulang kali terlihat menyambar, menyala, berkilat…menggelegar.. sementara anginpun sudah berubah menjadi badai yang menerbangkan seluruh ranting, daun termasuk air yang tertumpah. Bulan dan bintang tak terlihat sama sekali. Malampun menjadi semakin larut. Aku mengumpat pelan saat selembar daun yang terbawa badai menyambar mukaku, menutupi pandanganku yang memang sudah sangat samar………………….
Saat aku dengan cepat berusaha menyingkirkan daun itu, sebuah sengatan keras dan panas terasa menghantam bahuku. Aku terdorong kebelakang, dan sengaja membiarkan tubuhku berputar dan jatuh terguling ditanah yang basah dan berbatu.
Sementara itu, dua langkah dihadapanku, berdiri seorang pria berusia separuh baya yang baru saja berhasil menghantamkan tangannya yang merah membara ke bahuku, berhasil menembus lapisan-lapisan perisai ilmu setengah matang tak kasat mata yang menyelimuti seluruh badanku. Terlihat samar-samar lelaki itu kemudian meloncat dengan cepat menjejakkan kaki kirinya disebuah batu besar hitam yang tergeletak membisu.. Sambil mengembangkan tangan kirinya kesamping tubuhnya dan menekuk kaki kanannya, secepat kilat Ia mengayunkan tangan kanannya yang semakin membara dan bercahaya…. walaupun didalam guyuran hujan dan hempasan badai ini… Ayunannya tepat mengarah ke kepalaku…
…….…..Tapak Prahara…….…….
…. benar-benar aku merasakan betapa dahsyatnya ilmu itu….. ilmu yang justru menjadi semakin buas di tengah badai dan taufan seperti ini. Ilmu yang mengandalkan penyerapan tenaga panas dan getaran tenaga udara… ilmu yang sebenarnya sudah amat sulit ditemukan dimasa ini.
Aku mengeluh didalam hati, menyesali keangkuhan ku menerima tantangannya ditepi hutan kecil ini. Eyang Guruku sendiri pernah mengatakan bahwa beliaupun akan berpikir dua kali sebelum berhadapan dengan lawanku ini, terutama bila harus membenturkan langsung dirinya dengan Tapak Prahara… Terbayang pula dua orang guru ku yang lain, yang sudah berusaha keras menuangkan segenap ilmu kanuragan mereka kepada ku, dengan hampir sempurna… sempurna kegagalannya…
Menurut mereka, ada dua hal yang bisa membuatku menjadi seorang yang mumpuni dalam olah kanuragan, yaitu bakat dan keinginan… sedangkan kedua hal itu, aku sama sekali tidak punya… yang aku miliki hanya rasa kewajiban yang ditanamkan ayahku padaku sejak dini, untuk menguasai segenap kemampuannya. Ayahku adalah seorang pendekar yang cukup disegani di kampung kami..sayangnya, beliau berpulang terlalu cepat..bahkan sebelum tanganku cukup terampil merobek jantung… maksudnya adalah gambar jantung yang ditempelkan ayah di sebuah bantal kapuk yang digantung di belakang rumah.! Setelah beliau tidak ada lagi, ke dua guruku tadi, yang masih merupakan saudara seperguruan ayah sendiri, mengambil alih tugas ayahku memberiku pelajaran.. “Siapa lagi yang akan meneruskan nama ayahmu, kalau bukan kau..putera semata wayangnya…!” begitu selalu pesan kedua guruku.. Namun, ternyata.. kemampuanku jauh dari harapan mereka… jurus seribu naga serta 10 jurus malaikat menari, yang merupakan jurus-jurus kebanggaanku hanya menjadi cemooh murid-murid guruku yang lain. Gerakan kakiku menurut mereka terlalu lambat, badanku pun tidak dapat meliuk dengan irama yang serasi dengan gerakan, ayunan serta hentakan tanganku.
Berhadapan dengan ilmu tapak prahara yang terayun deras kekepalaku, dan dalam posisi tubuhku yang sedang terdorong dengan keras ini, terasa bahwa seluruh kata-kata ke dua guruku, dan cemooh teman-temanku adalah sebuah kebenaran yang sejati. Otakku bereaksi dengan cepat, memerintahkan kedua tangan ku untuk segera bersilang didepan dahi sambil menghentakan energi murni dari chakra solar plexus, …tapi seolah tanganku tidak bisa berjalan selaras dengan perintah otakku… tanganku terasa begitu lamban dan kaku, sedangkan energi hempasan tangan lawanku yang dilambari ilmu tapak prahara itu, walau masih berjarak selangkah dihadapanku, panasnya sudah terasa menusuk sampai ubun-ubun…
Kali ini aku benar-benar memejamkan kedua mataku…seluruh jurus sudah aku mainkan.. bahkan lapisan ilmu yang membentengi tubuhku, yang seharusnya dapat melindungi tubuhku dari sentuhan kasar dan halus.. yang mana ilmu ini merupakan hasil kesabaran Eyang Guru ku menuntun pernafasanku di malam-malam yang sunyi ditepi sungai, sudah terpecahkan sejak awal perkelahian ini… bahkan sebelum ilmu tapak prahara lawanku ini diterapkannya…
Oya, agar lebih jelas…sedikit aku gambarkan tentang Eyang Guru ku ini. Jangan dikira bahwa beliau ini adalah seorang lelaki tua dengan janggut panjang berwarna keperakan, menggunakan pakaian dan sorban berwarna putih pula… Eyang guru adalah seorang wanita, wanita yang sudah sangat tua..Namun dari bentuk fisik dan wajahnya masih terlihat berusia kurang dari setengah abad. Beliau tidak terlihat cantik.. tapi sangat bersih dan seolah mengeluarkan sinar kesejukan. Beliau adalah seorang yang amat dihormati, bukan saja dikampungku..tapi rasa-rasanya oleh penduduk di seluruh negeri..itupun menurut cerita dari beberapa kawanku.. karena seberapa besar sebenarnya negeri ini, terus terang tidak pernah aku ketahui… Di usia ku yang menginjak 23 tahun ini, Cuma 2 kampung lain yang pernah aku jelajahi… Yah paling tidak di kampung kami nama eyang guru sangat dihormati.
Konon, sejak ayah ku masih ada, Eyang Guru pun sudah terlihat seperti usianya yang sekarang. Hal ini dibenarkan oleh ke dua guru ku yang juga merupakan adik seperguruan ayahku.., merekapun amat menyegani Eyang Guru.. mereka mengatakan bahwa Eyang Guru adalah seseorang yang mumpuni baik dalam ilmu kedigdayaan maupun ilmu kejiwaan. Mereka pun mengatakan, bahwa seratus tahun lagi pun, wajah eyang guru tidak akan berubah,,tetap terlihat semuda sekarang. Aku amat mempercayai cerita mereka ini.. karena sejak kecil, seperti orang-orang lain dikampungku, ayah ku memang rajin mengunjungi eyang guru..dan aku selalu diajaknya.
Waktu ayahku wafat, eyang guru meminta ku untuk tetap sering mengunjunginya. Karena beliau sudah aku anggap seperti nenek ku sendiri, aku sering berkunjung tanpa mengenal waktu.. Namun demikian, selama itu aku tidak pernah melihat beliau memainkan satu jurus ilmu silat pun. Padahal, menurut banyak kabar yang aku dengar, Eyang Guru adalah seorang yang tak terkalahkan dalam kanuragan. Beliaupun tidak terlihat sama sekali tertarik untuk mengajariku ataupun melihat hasil latihan silatku.. Uniknya, Eyang Guru justru sering mengajakku bermain di tepi sungai dibelakang pondoknya yang asri,..terutama di malam hari yang sepi. Disana Eyang Guru hanya membimbingku untuk mengatur nafasku.. menurut beliau, cara bernafasku amat boros… mungkin karena aku memiliki lubang hidung yang memang besar pikirku… Tapi beliau meyakinkanku, bahwa ini tidak ada hubungannya dengan besarnya lubang hidung, lebarnya mulutku…ataupun bahkan besarnya perutku. Lalu untuk apa aku harus berhemat, bila udara didunia ini sedemikian banyaknya..bukankah kita tidak perlu khawatir orang lain akan kehabisan ? protesku suatu ketika…..eyang guru hanya diam, mungkin beliau juga tidak tahu jawabnya.
Selain pengaturan nafas, Eyang Guru lebih banyak mengajakku merenung dan berpasrah diri, sambil membayangkan betapa besar dan indahnya alam ini. Betapa banyaknya cahaya berwarna warni disekitar kami yang kemudian dibayangkan memasuki tubuhku, serta menyelimutinya. Dikemudian hari, dengan bantuan penyelarasan dari eyang guru, aku mampu memadatkan selimut cahaya yg menyelubungiku secara tak kasat mata itu, kapanpun aku mau…Ini membuat tubuhku seolah tahan terhadap segala jenis pukulan ataupun serangan. Selimut atau perisai itulah yang sebenarnya mampu membuatku bertahan agak lama menghadapi lawanku ini…..TAPI HANYA ITU…. Perisai itu pun kini sudah pecah, dan lawanku sudah terlanjur merasa tidak sabar, dan sudah mengetrapkan ilmu tapak praharanya ditingkat tertinggi…..Eyang Guru tidak pernah memberikan kemampuan apa-apalagi yang bisa aku gunakan saat ini dari lawan yang sebenarnya justru disegani bahkan dihindari oleh eyang guru sendiri….
Aku tidak bisa mengandalkan kemampuan ku yang terbatas ini lagi.. aku tidak bisa pula menggantungkan harapan pada guru-guru ku yang lain, entah saat ini mereka berada dimana… kalaupun mereka berada disini, aku pun tidak yakin bahwa kami bertiga bisa menahan hantaman gelombang pukulan lawanku ini. Satu-satunya yang terbayang olehku hanyalah wajah eyang guru yang bening dan sejuk…ingin rasanya aku berteriak memanggil namanya...tapi mulutkupun terasa terkunci. Sekali lagi penyesalan yang kuat menghantam jantungku… aku menyesal mengabaikan peringatan kawan-kawan seperguruanku, mengabaikan peringatan Eyang Guru untuk sejauh mungkin menghindari benturan dengan lawanku ini… lawan yang sebenarnya memang bernafsu melenyapkanku dari muka bumi, hanya karena aku adalah putera satu-satunya dari ayahku. Lawan yang sebenarnya tidak diketahui keberadaannya sebelumnya, dan muncul tiba-tiba dari belakang kandang kambing rumahku.. lawan yang sudah berhasil membuat darahku mendidih karena menghina kambing satu-satunya milikku.. sehingga membuatku menerima tantangannya… tantangan dari seorang yang ternyata menyimpan sebuah ilmu yang dahsyat, yang konon telah menewaskan banyak pendekar diseluruh negeri….mungkin termasuk ayahku…tapi baik Eyang Guru, maupun kedua guruku yang lain tidak pernah mau bercerita banyak soal ini. Ayunan Tapak Prahara yang bila disentuhkankan kepada batu akan hancur menjadi debu, yang dapat membuat pohon-pohon menjadi layu hanya tersentuh oleh gelombangnya itu, kini semakin dekat kekepalaku…mengarah, diarah tepat di dahiku… aku bisa merasakannya semakin dekat, walau mataku terpejam justru semakin rapat. Hilang seluruh reflekku, gerak naluriku.. hilang lah seluruh jurus seribu naga, bahkan bila ada sejuta naga sekalipun pun belum tentu dapat menyelamatkanku…
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………..
KEPASRAHAN
Kulepaskan seluruh kehendakku
Kupasrahkan diriku pada Nya
………
Kutebarkan seluruh sinar hatiku, sinar jantungku… ke alam sekitarku
Kuserahkan diriku bulat-bulat menghujam bumi
Seluruh sel ku menyatu dengan Bumi
Berpadu…
………
Wahai bumi..terimalah jasadku
Wahai langit terimalah jiwaku
Wahai Udara…kukembalikan Nafasku padamu
……………………………….Tak ada Tarikan Nafas
……………………………….Tak ada pembuangan nafas
………………………………..Tak ada Penahanan Nafas.
Nafas Kosong…NOL…….
Wahai Yang Kuasa… Kuserahkan Noda dan Dosa ku, Terimalah Amalku
Yaa Tuhan Pencipta seluruh Alam Semesta…………
Ku syukuri semua nikmat Mu….. Terima kasih Engkau tidak membuat pertempuran ini menjadi mudah……………………………………………
TOTAL Hampa…TOTAL Sunyi….TOTAL Hening…
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
Seluruh cahaya dari dalam bumi perlahan
terasa merayap naik, kemudian
mengangkat tubuhku, tubuhku seolah melayang keatas..ringan….
Tiba-tiba sebuah sentuhan yang lembut terasa memegang tanganku.. getaran halus merambat naik dan mengalir keseluruh tubuhku.. terasa aman, damai serta segar sekali.. Ketika kubuka mataku, matahari sudah mulai bersinar hangat.. hujan badai sudah berhenti, hanya menyisakan tetes-tetes air yang masih berjatuhan dari pepohonan.
Aku terkejut melihat Eyang Guru sedang berjongkok disampingku yang berbaring diatas tanah yang becek.. Eyang Guru masih memegang tanganku ketika dia tersenyum dan berkata.. “bangunlah…hari sudah siang..” katanya. Aku memandang sekelilingku.. tampak pohon-pohon dahannya patah berserakan, banyak yang hancur dan layu.. tanah seperti sawah sehabis dibajak…semua itu rupanya adalah hasil kebuasan pertempuran kami semalam..
Tak Jauh dari tempatku berbaring, tampak sesosok tubuh diam tak bergerak. Dia adalah lawanku tadi. Agak sulit bagiku untuk mencoba mengingat-ingat sepenuhnya apa yang terjadi… Tapi Eyang Guru yang justru menceritakan bagian akhir dari pertempuran tadi. “ Jadi Eyang yang membantu ku, tanya ku ?’ Eyang Guru hanya tertawa kecil…”Tidak…” katanya kemudian. “ Waktu aku datang, pukulan tapak prahara itu sudah hampir membentur kepalamu, dan aku tidak sempat untuk membantu mu.”.katanya. Aku menjadi terheran-heran… “ lalu kenapa dengan lawanku ?” tanyaku… “Engkau luar biasa..”, kata Eyang… “engkau sudah dapat mengalahkannya, mengalahkan musuh yang belum tentu aku sendiri bisa menghadapinya….!”, sambung Eyang Guru. “Kepasrahan Totalmu pada Nya, serta penyatuan dirimu pada alam semesta telah memancarkan sinar ke agungan yang seketika meluluhkan ilmu dari lawan mu itu… saat ini, walau dia masih hidup, dan sebentar lagipun akan sadar kembali dari pingsannya, tapi dia sudah tidak dapat lagi menggunakan ilmu kesaktiannya sama sekali…” Aku justru terpana dan mengucapkan puji syukur mendengar penjelasan Eyang Guru…jelas apabila harus mengulangi lagipun, belum tentu aku mengerti caranya… tapi yang jelas, bimbingan dari Eyang Guru, yang justru hanya aku anggap remeh, telah menyelamatkanku dari kemungkinan paling buruk yang dapat terjadi…
…SELESAI…
Sekedar selingan..dipersembahkan untuk anak-anak Lambung Mangkurat (Chenk Gank).
* Terinspirasikan dari karya-karyanya SH Mintardja, Senopati Pamungkasnya Arswendo Atmowiloto dan Ketoprak Humornya Srimulat.
Salam